Saturday, 3 March 2012

logika terbalik, jangan di baca

aneh jika mendapati dinding yang
penuh coretan tangan iseng, meski di dinding
itu sudah ada sebuah peringatan "Dilarang
coret-coret". Semakin dilarang semakin
penuh coretannya. Pernah ada anak sekolah
yang mencoret bis kota dengan spidol dengan
alasan, "Saya cuma menambah coretan yang
sudah ada kok…" sambil menunjuk tulisan
"dilarang mencoret" yang dianggapnya sebagai
coretan pertama.
Kalau ada pojok jalanan, sudut pasar atau
tempat-tempat yang dianggap strategis
lainnya yang beraroma tak sedap alias bau
pesing, selalu saja ada peringatan "Dilarang
kencing di sini". Bukan karena sebelumnya
tempat itu selalu jadi tempat aman untuk
buang hajat, melainkan memang sampai detik
ini masih selalu dipakai oleh mereka yang
kesulitan menemukan toilet yang sebenarnya.
Sering juga lihat tulisan "Dilarang dicoba
sebelum membeli" di antara tumpukan buah
lengkeng di sebuah pusat perbelanjaan.
Menarik sekali karena justru tulisan itu
dikelilingi orang-orang yang tengah memilih
sambil menikmati manisnya buah kelengkeng.
Alasannya
sih masuk akal, "Kalau manis baru
kita beli, makanya dicoba dulu". Tapi kenapa
nyobanya berkali-kali?
Tidak berbeda ketika memberikan larangan
kepada anak-anak. Misalnya, "jangan disentuh"
pasti disentuh, atau "jangan berisik" justru
gaduhnya minta ampun. Dibilang jangan
berlari, dia berlari, jangan masuk eh sudah di
dalam. Suruh berdiri, dia duduk, begitu juga
sebaliknya. Di Mall, seorang ibu yang
berpesan "jangan kemana-mana ya nak, diam
di sini", sesaat kemudian kebingungan
mencari anaknya ke seluruh sudut Mall.
Akhir pekan kemarin saat menjadi trainer
outbound anak-anak SMA, anak-anak yang
takut melintasi flying fox dimotivasi tidak
dengan cara menyemangati, melainkan
diminta untuk menyerah. "Sudah ya,
menyerah saja. Daripada ragu-ragu, wajar kok
kalau anak-anak takut". Yang terjadi
sebaliknya, ia maju dengan berani dan
melewati semua rintangan. Dia bilang, "Siapa
yang takut?"
Ini logika terbalik, dilarang justru dilakukan,
tidak boleh diartikan sebagai izin, namun
ketika diizinkan malah tidak melakukan apa-
apa. Perintah tidak digubris, yang tidak
diperintah malah dikerjakan.
Secara psikologis, kalimat "jangan", "tidak
boleh" atau "dilarang" mengandung rasa ingin
tahu. Anak-anak maupun orang dewasa
memiliki kecenderungan yang sama, jika
dilarang lantas bertanya, "kenapa?", maka
reaksi selanjutnya adalah melakukan apa-apa
yang "tidak boleh" dan "dilarang" itu untuk
mengetahui sebab apa sesuatu itu dilarang.
Dilarang main api, maka ada yang nekat main
api. Ketika terjadi kebakaran, barulah ia
mengerti kenapa main api itu dilarang. Orang
belum bisa percaya bahwa membuang
sampah sembarangan itu bisa menyebabkan
banjir, bahkan menebang pohon secara
serampangan akan mengakibatkan banjir
bandang. Nanti jika sudah benar-benar terjadi
banjir, barulah ia mengerti akibat
perbuatannya. Masalahnya, sudah terlambat.
Seperti tulisan ini, meskipun judulnya "Jangan
Dibaca", Anda membaca juga kan ? Begitulah
kita, selalu memiliki rasa ingin tahu yang
tinggi. Tidak masalah, sepanjang perasaan itu
mampu diarahkan kepada hal-hal yang positif.
Comments
0 Comments